Animo masyarakat ‘menggila’ untuk bermain Pokemon Go—meski secara resmi belum diluncurkan di Indonesia. Game Pokemon Go yang baru dirilis di Amerika, New Zealand, dan Australia, sudah menyihir masyarakat Indonesia. Permainan berbasis peta lokasi GPS (Global Positioning System) melalui peta Google Maps yang dikombinasikan dengan kartun Pokemon kemudian dikemas lewat teknologi augmented reality (realitas yang disempurnakan), dalam hitungan hari penggunannya sudah mendekati pengguna twitter di seluruh dunia, tak menutup kemungkinan akan melampaui pengguna twiter.
Dailymail melaporkan (13 Juli 2016), di Amerika Serikat, dua hari setelah Pokemon Go dirilis, pengguna sudah lebih dari 5 persen dari perangkat Android. Angka itu mengalahkan Tinder yang hanya mencapai 2 persen. Ada 3 persen dari penduduk AS yang memakai Android bermain Pokemon Go. Sedangkan pengguna aktif harian Twitter memiliki 3,5 persen penduduk. Maka tak heran apabila developper game Pokemon Go, Niantic In, menunda peluncuran game ini secara serentak di di seluruh dunia saat ini karena kapasitasnya yang melonjak.
Game Pokemon Go cukup mengasyikkan dan juga menyehatkan—mengajak kita berjalan di dunia nyata dengan menangkap monster virtual. Pindah posisi dari satu tempat ke tempat yang lain itu akan membuat fisik aktif, kadang tanpa sadar seperti kita sedang kita berolahraga. Pokemon Go yang mengasyikkan itu juga memberikan efek psikologis, yakni bisa mengurangi kecemasan dan depresi. Seperti dilaporkan dalam www.tribunnews.com edisi 15 Juli 2016, Ari, seorang pengguna Tumblr berusia 18 tahun, selalu mengalami kecemasan dalam beberapa tahun. Tetapi dalam pengakuannya, Pokemon Go bisa memberikan dorongan untuk keluar dari jerat kecemasan itu. Ia merasa Poekemon Go memberi kenikmatan lain dari beberapa game lainnya.
Klinis Ben Michaelis, PhD, salah satu penulis buku Your Next Big Thing: Ten Small Steps to Get Moving and Get Happy (2013) mengakui, Pokemon Go bisa memberikan efek positif pada salah satu pasiennya dan ia juga meyakini bahwa game itu bisa membantu mengurangi orang dari kecemasan dan depresi. Tetapi ia menegaskan bahwa game ini bukan obat, tak lebih sebagai alat yang berguna. Kalau kita sedang depresi dan didera kecemasan, mengambil HP dan memainkan Pokemon Go dengan harapan akan sembuh dari penyakit cemas, itu berlebihan. Poekemon Go bukan obat penenang, tak lebih dari benda yang berguna, tentu perbandingan dengan benda yang tak berguna.
Hanya saja, Game Pokemon juga memiliki efek bahaya yang tak sedikit. Pertama, dari sisi keamanan Pokemon Go cenderung bahaya. Pokemon Go belum dirilis secara resmi di Indonesia, apabila mengambil game ini dengan ragam cara tidak ada yang bisa menjamin keamanan dari file yang di download. Ketenaran Pokemon Go sudah pasti disadari oleh banyak pihak untuk membuat apk yang disusupi malware. Saat malware masuk ke android, oknum tertentu bisa memegang kendali pada android kita dan data kita pun juga bisa diketahui.
Pokemon Go juga menuntut kita untuk keluar rumah, mengejar dan memburu monster yang terdapat di berbagai tempat. Sudah banyak kejadian, tanpa sadar karena sudah asyik dengan pemburuan, kasus perampokan dan kecelakaan akibat terlalu asyik dengan permainan Pokemon Go. Poekemon Go terdapat feature untuk memasang umpan. Beberapa kalngan yang berniat jahat bisa saja menjadikan feature ini sebagai umpan untuk menjebak korban.
Di tengah maraknya Pokemon Go, beredar pula pesan berantai yang menyebut bahwa permainan tersebut bagian dari proyek inteljen asing untuk mengetahui dan memetakan setiap sudut wilayah negara dimana user menggunakanya—tentu kabar itu perlu dibuktikan. Menanggapi hal itu Letjen (Purn) Sutiyoso, kepala Badan Inteljen Negara (BIN) merespon secara diplomatis, yakni tetap memperbolehkan masyarakat memainkan tetapi bukan di lokasi strategis pemerintah, “Karena dalam game tersebut (Pokemon Go) terdapat penggunaan kamera secara real time, maka muncul risiko keamanan jika dimainkan di kantor dan instalasi strategis,” ujar Sutiyoso.
Kedua, seperti permainan teknologi lainnya, Pokemon Go bisa membuat anak lupa waktu, apabila sudah kecanduan. Anak akan kurang waktu berkomunikasi dengan keluarga (ibu, bapak, kakak, adik dan lainnya). Anak terstimulasi untuk menyukai kekerasan. Monster yang mereka kumpulkan akan dipertandingkan dengan monster-monster hasil perolehan anak-anak lain. Anak terkonstruksi pikirannya bahwa monster (sesuatu yang jahat) adalah sesuatu asyik diburu/ dikejar karena mendapat reward berupa point. Anak teralienasi dengan dunia nyata, karena yg diburu adalah sesuatu yang maya, fatamorgana, dan fantasi belaka.
Baca: Anak dalam Ancaman Gadget
Dampak negatif ini memang butuh kajian mendalam, tetapi berkaca dengan game yang sudah ada, banyak anak yang menghabiskan waktunya bersama gadgetnya ketimbang bermain bersama keluarga, bermain di luar rumah dan bermaian bersama anak-anak yang lain, apalagi Pokemon Go sudah menyuguhkan berbeda dari yang lain, peluang untuk membuat candu anak dan menyita waktu cukup besar. Disinilah peran keluarga sangat menetukan. Saat pemerintah melalui Kemenkominfo belum memberikan ketegasan untuk memblokir Pokemon Go, karena dianggap belum ada pengaduan terkait bayaha Pokemon Go dan KPAI juga belum bisa tegas melarang karena belum menemukan unsur kekerasan, pornografi dan judi dalam permainan Pokemon Go—maka peran orang tua menjadi penentu utama mengontrol anak dalam bermain Pokemon Go. Mari Selamatkan anak-anak kita dari kecanduan Pokemon Go!
Sumber Gambar
www.engadget.com
Ulasan yang kereennn
Makasih, Bu Nina