Melindungi Masa Emas Anak

0
958
masa emas anak, masa emas pertumbuhan anak, pendidikan anak usia dini
Masa Emas Perkembangan otak

 

.

Didaksi.com−Masa emas anak ada pada saat usia dini. Itu adalah masa dasar bagi pembentukan arsitektur otak. Sebagai masa emas pertumbuhan anak, pendidikan anak usia dini sangat menentukan pola perkembangannya di masa depan, baik dalam bidang kognitif, emosional dan kesehatan anak. Langkah paling bijak bagi orang tua tentu membuat pondasi yang kokoh, dengan dasar yang mengakar dan juga luas, karena apa yang terjadi pada usia anak bisa menjadi wadah untuk seumur hidupnya.

Pada tahun-tahun pertama, otak anak mengalami perkembangan yang paling cepat. Selama periode itu, otak sangat sensitif, sirkuit otak terbuka untuk pengaruh eksternal, bisa lebih baik atau lebih buruk. Selama periode sensitif ini, perkembangan emosional dan kognitif yang sehat dibentuk melalui interaksi dengan orang dewasa (Jack P. Shonkoff, 2005). Hubungan yang baik dengan orang tua dan lingkungan sekitar ikut berpengaruh terhadap bangunan otak.

Tahun pertama menjadi sangat urgan karena pada masa itu ada 700 koneksi saraf baru terbentuk dalam setiap detik. Koneksi saraf terbentuk melalui intraksi antara gen dan lingkungan-pengalaman bayi, terutama pola pelayanan orang dewasa sehingga menimbulkan reaksi timbal balik dari bayi. Koneksi inilah yang akan membangun arsitektur otak, sebuah fondasi yang akan mempengaruhi pola belajar, prilaku dan kesehatan anak di kemudian hari (JL. Conel, 1959).

Baca Juga: Otak Cerdas Lewat Makanan

Cara Menjaga otak anak agar Cerdas 

Berdasarkan sebuah studi, anak yang dilahirkan dari sebuah lingkunga keluarga yang berpendidikan tinggi dengan anak yang lahir dalam lingkungan keluarga berpendidikan rendah ternyata mempunyai kemampuan verbal yang berbeda. Pada usia 3 tahun, anak-anak dengan orang tua berpendidikan tinggi memiliki kosakata 2 sampai 3 kali lebih besar dari mereka yang orang tuanya tidak tamat SMA (Hart, B., & Risley, T. 1995).

Begitu juga dengan anak-anak yang ditempatkan tak lama setelah lahir ke panti asuhan, dimana lingkungannya ternyata kurang responsif, maka aktivitas otak akan menurun dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah dilembagakan, yakni berada di bawah pengasuhan orang tua (Jack P. Shonkoff: 2005). Ibu adalah jiwa yang tak dapat diperoleh dari universitas terbaik manapun. Kalau kita mengganti tugas ibu untuk mengasuh anak dengan pembantu atau baby sister , maka ibu tak akan pernah tergantikan. Sayangnya tak ada seolah untuk menjadi orangtua bukan!

Tak jauh beda dengan kekerasan, baik itu kekerasan fisik atau pun verbal, mempunyai implikasi serius terhadap perkembangan otak anak. Dalam sebuah study, anak-anak yang mengalami kekerasan ternyata mempunyai resiko keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, serta perkembangan emosional (Hart, B., & Risley, T. 1995). Meskipun niatnya mendidik, tetapi untuk anak usia dini pola pendekatan kekerasan sama sekali tak dibenarkan. Anak usia dini harus didekati sebagaimana layaknya sebuah raja yang harus kebutuhannya dan direkayasa lingkungan untuk memberikan bekal yang kompleks dalam arsitektur otaknya.

Apa yang menjadi masalah pada masa usia dini bisa menjadi masalah anak seumur hidupnya. Betapa pentingnya proses rekayasa lingkungan untuk tumbung kembang anak agar mampu berjalan dengan baik. Maka intervensi pemerintah dengan berdasarkan pada kajian nourosains itu cukup penting untuk menghadirkan kebijakan yang mampu menjaga proses intraksi antara orang tua dan anak menjadi kondusif dan mampu mengatasi problem anak sedini mungkin.

Pertama, dari pranatal dan postnatal, dimana tahun-tahun pertama anak itu berkembang adalah pondasi yang akan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif, emosional dan kesehatan anak, maka kebijakan untuk melindungi para ibu Hamil, layanan perawatan dini, memberi lingkungan yang mendukung dan stabil dan perlindungan ekonomi untuk keluarga menjadi sangat vital. Mentri Sosial kita sebenarnya sudah mencoba melakukan perlindungan keluarga dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Terobosan itu perlu terintegrasi denga kementrian lain, seperti Mentri Tenaga Kerja, yang pada gilirannya diharapkan akan memberikan perlindungan yang berbeda bagi perempuan hamil dan menyusui saat di tempat kerja; apakah itu dengan memperpanjang waktu cuti atau ada layanan khusus bagi ibu menyusui yang bekerja serta Mentri Kesehatan yang mampu memberi perlindungan kesehatan mulai dari ibu hamil.

Kita perlu belajar pada beberapa negara yang mulai menunjukkan komitmen perlindungan anak mulai dari dalam kandungan, seperti di Amerika ada program Head Start Dini yang dikelola oleh Administrasi Anak dan keluarga (AAK) di Departemen layanan Kesehatan dan Sosial. Head Start Dini dirancang untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil prakelahiran; meningkatkan perkembangan anak dan mendorong keluarga sehat (George S. Morrison, 2012). Untuk mendapat layanan Head Start Dini, anak harus memenuhi kreteri usia dan pendapatan keluarga yang berpenghasilan rendah. Head Start Dini untuk membantu anak miskin dan yang terpenting juga adalah upaya untuk mereformasi pendidikan anak usia dini.

Kedua, pengalaman masa awal anak akan mempunyai dampak yang langgeng pada kehidupan anak dikemudian hari, maka memperbaiki pada usia dini itu justru akan lebih bagus dibanding menunggu untuk memperbaiki persoalan anak dikemudian hari. Berkolaborasi antara pendidikan anak usia dini yang sudah formal, orangtua dan juga masyarakat menjadi urgen. Orangtua, keluarga dan masyarakat, sama-sama bagian dari proses pendidikan seperti halnya siswa, guru dan staf (George S. Morrison, 2013). Penelitian telah banyak membuktikan bahwa keterlibatan semua komponen memiliki efek positif pada peningkatan prestasi, begitu juga sebaliknya.

Paula McCullough, salah satu guru sekolah di Lakehima Elementary Mustang, Okhaioma memberi rekomendasi untuk berkolaborasi; menjalin kemitraan dengan orangtua, berkomunikasi dengan keluarga, mengirim buletin, mendorong umpan balik, memberikan kantong PR agar anak bisa bekerjasama dengan orantua di rumah, mengajar orangtua yang berkaitan dengan pengasuhan dan edukasi di rumah serta merekrut orangtua untuk terlibat menjadi sukarelawan agar terlibat di kelas (Paula McCullough, 2012).

Ketiga, pendidikan anak sebagai basis untuk proses jenjang pendidikan selanjutnya perlu mendapat perhatian lebih, tidak hanya pada aspek kuantitas dimana pemerintah mulai menggalakkan PAUD di setiap desa, tetapi juga aspek kualitas, seperti kualitas guru PAUD serta sarana-prasarana yang mendukung tumbuh kembang anak.

Kita tahu saat ini guru PAUD masih jauh dari harapan, dimana mayoritas guru PAUD masih lulusan SMA dan SMP— Menurut Direktur Pembinaan PAUD Ditjen PAUDNI-Dikmas Ella Yulaelawati, jumlah tenaga kependidikan PAUD tahun 2015 sebanyak 588.475. Dari jumlah itu, sebanyak 22.972 berlatarbelakang pendidikan SMP dan 289.762 SMA, lulusan diploma sebanyak sebesar 75.678 dan S-1 sebanyak 196.181 orang. guru dan tenaga kependidikan lulusan S-2 terdapat 3.882 orang .Begitu juga sarana dan prasaran yang masih minimilis, dimana dimana anggaran untuk PAUD berkisar Rp 800 miliar. Tentu itu akan sulit menjangkau seluruh PAUD yang ada di Indonesia yang berjumlah sekitar 200 ribu.

Kita harus mengubah paradigma tentang PAUD, dari yang sebelumnya hanya sebagai komplemen dari pendidikan formal menjadi pondasi pendidikan. Kalau bangsa ini ingin menjadi bangsa yang besar, maka tentu pintu utama adalah memperbaiki dunia pendidikan. Pondasi dasar dari pendidikan adalah pada usia dini. Sebagai usia yang sangat krusial dan urgen, maka kebijakan dari pemerintah untuk memberikan pelayanan dan perlindungan, pola pengasuhan orang tua dan rekayasa lingkuangn yang kondusif dari masyarakat menjadi kunci untuk mengawal perkembangan usia emas anak.

DAFTAR PUSTAKA
JL. Conel The Postnatal Development of the human cerebral cortex. Cambridge, Mass: Haevard University Press, 1959
Hart, B., & Risley, T. (1995). Meaningful differences in the everyday experiences of young American children. Baltimore, MD: Brookes
The Impact of Early Adversity on Children’s Development (www.developingchild.harvard.edu/library)
www.healthofchildren.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here