Didaksi.com−Hingar bingar pesta demokrasi yang sebentar lagi dirayakan oleh seluruh rakyat Indonesia sudah semakin terasa. Dimana-mana banyak terdapat alat kampanye yang banyak menyita ruang publik. Perubahan yang terjadi menyentuh hampir di semua aspek kehidupan masyarakat, bukan saja dalam panggung politik, tapi juga dalam kehidupan yang paling kecil, yaitu keluarga. Kehidupan keluarga juga terdampak pesta demokrasi ini karena adanya perbedaan pandangan atau pilihan calon dalam anggota keluarga. Apalagi jika anak tinggal dalam keluarga besar yang banyak terdapat calon pemilih. Anak usia dini praktis hanya sebagai penonton dan pendengar dari suasana yang ada di dalam rumahnya.
Suasana rumah yang dulunya penuh dengan gelak tawa seakan ikut berubah mengikuti irama semakin garangnya masing-masing timses membela capres dan cawapresnya. Acara favorit ikut bergeser pada acara debat terbuka yang secara jelas dapat dilihat oleh anak-anak. Tanpa disadari bahwa tingkah laku orang dewasa di sekitarnya telah dilihat, didengar, direkam dan dirasakan oleh alat perekam yang paling sempurna. Alat yang mampu dengan baik merekam setiap kata yang dia dengar lengkap dengan ekspresi yang ditampilkan saat adegan berlangsung. Nyaris tak ada yang terlewatkan sedikitpun dari setiap detailnya. Bagaimana ternyata berbicara itu boleh saling menyela, boleh saling merendahkan, boleh dengan suara yang lantang meskipun yang diajak berbicara tidak berjauhan. Bukan itu saja yang mereka rekam bahkan alat ini mampu menerjemahkan setiap detail adegan yang mampu ditangkapnya, lalu data diolah dan diterjemahkan oleh sebuah prosesor yang tentu saja mempunyai spesifikasi yang sangat khusus menjadi sebuah persepsi yang sangat mungkin menjadi persepsi fundamental. Alat itu tak lain dan tidak bukan adalah otak anak usia dini.
Baca juga:
Mengenal Hakikat Anak Usia Dini
Tokoh Pendidikan Anak Usia Dini dan Pemikirannya
Tanpa sadar rumah dan lingkungan sekitarnya telah menyajikan contoh-contoh sikap perilaku yang akan mampu mereka tiru dan bahkan lebih parah lagi mereka meyakini sebagai suatu konsep atau nilai-nilai yang benar karena telah banyak ia jumpai dan dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Pengaruh nilai Negatif
Padahal nilai-nilai yang mereka rekam dan yakini adalah nilai-nilai kehidupan yang sangat jauh dari nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara bagi setiap warga Negara Indonesia, seperti jauhnya kutub utara dan kutub selatan sebuah magnet yang saling tolak menolak. Saling bertentangan satu dengan yang lain. Tanpa disadari semua telah menyemai benih perpecahan bahwa bersama itu harus sama, jika tidak sama maka bukan saudara. Sungguh sebuah keadaan yang sangat menyedihkan bagi bangsa yang saat ini sedang gencar membangun Negara dari semua aspek kehidupan.
Anak usia dini menjadi sebuah asset yang berharga dibandingkan dengan seluruh asset yang dimiliki oleh sebuah bangsa. Masa depan dan kelestarian sebuah bangsa 100% persen tergantung pada anak usia dini. Lantas apakah yang sedang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya saat ini? Saat orang-orang di sekitarnya sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pesta demokrasi. Begitu sibuknya usaha mereka untuk memenangkan pasangan “Capres” dan “Cawapres” jagoannya hingga melupakan bahwa ada anak usia dini sebagai perekam yang super canggih sedang merekam semua detail adegan, dialog bahkan setiap ekspresi yang dimaknai sendiri oleh mereka. Dalam hal ini tentu saja cara memaknai yang dilakukan oleh anak sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka tidak melihat apa yang tersirat dari semua tontonan yang telah mereka saksikan karena mereka hanya melihat apa yang tersurat atau tampak. Bahkan lebih parahnya banyak ibu-ibu yang kurang bijak karena mengajak anak-anak mereka ke dalam aktivitas yang hanya dimengerti oleh orang-orang dewasa. Melibatkan anak-anak ke dalam pesta demokrasi akan membawa dampak yang sangat buruk pada sisi kejiwaan anak. Padahal proses membangun sebuah fondasi mental dan budi pekerti tahap yang paling penting dan rawan adalah pada anak usia dini.
Fondasi mental dan budi pekerti anak yang sedang berkembang menjadi sangat penting dan rawan karena saat itu anak berada pada tahap perkembangan moral yang realis. Pada tahap ini anak mempunyai ketaatan yang otomatis tanpa pemikiran atau penalaran. Anak mempunyai ketaatan mutlak pada sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupannya misal ayah, ibu, guru atau orang-orang yang diidolakannya bahkan tokoh idola dari sang idolanya.
Melihat kondisi saat ini maka sangat memungkinkan ketika anak mempunyai pandangan bahwa apa yang diyakini, diperbuat, dikatakan oleh ayah, ibu atau tokoh idolanya maka tanpa syarat apapun akan dia yakini pula sebagai suatu nilai kebenaran. Nilai kebenaran inilah yang menjadi titik penting dan rawan karena nilai ini akan relatif menetap dalam kejiwaan dan budi pekerti anak sedangkan kejadian-kejadian yang terjadi pada saat ini hanya dalam rangka pemilihan umum yang terjadi lima tahun sekali. Kejadian yang saat ini akan menjadi perusak dari pilar-pilar nilai kebangsaan dan bela negara bagi anak. Pilar-pilar yang menjadi penentu kelestarian bangsa. Seharusnya kita semua menyadari keadaan ini terutama bagi timses masing-masing pasangan capres dan cawapres dalam menggulirkan isu-isu guna menggiring pemilih untuk mau mencoblos gambar pasangan yang digandengnya.
Jangan dianggap anak tidak tahu apa-apa, jangan dianggap anak akan menurut saja atas kehendak orang tua, tahukah anda bahwa saat itu anak seperti spon yang menyerap seluruh apa yang dia ketahui, dengar, lihat, rasakan dan yakini. Mari kita berikan mereka pesta yang ramai tapi damai, hingar bingar dengan kegembiraan bukan ujaran yang penuh kebencian dan memecah belah persatuan Indonesia, perdebatan yang saling memuliakan bukan merendahkan. Mari bersama-sama kita selamatkan masa depan bangsa melalui anak usia dini.